Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat Sultan Aceh yang terakhir |
DALAM catatan minggu ini, saya
mengingatkan tragedi Sultan Aceh yang terakhir. Kisah Sultan Aceh memang banyak
dikupas yang indah dan kemegahan yang melingkupi mereka. Ketika Sultan Aceh
terakhir ini menghadapi penjajah Belanda, hidupnya sangat menderita. Ini tentu
berbeda dengan raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah
kolonial. Mereka menerima kemegahan dan status sosial dari keturunannya.
Terkait raja Aceh, kehidupan mereka jarang diangkat apalagi menjadi bahan
diskusi kebudayaan Aceh.
Ketika agresi kedua Belanda (Desember 1873) dipimpin oleh
Letnan Jenderal Van Swieten berusaha membujuk Sultan bersedia mengikat perdamaian
dengan Belanda. Surat itu diantar oleh kurir Belanda yakni Mas Soemo Widikdjo
pada 23 Desember 1873 bersama empat pengiringnya. Sultan tidak mengacuhkan
tawaran itu dan memerintahkan kepada pasukan dan rakyat supaya memperhebat
perlawanan di mana-mana. Membela tiap jengkal tanah dengan pengorbanan yang
betapapun besarnya (Talsya:1981:38).
Prinsip orang nomor satu Aceh ini tidak mau melakukan perdamaian. Baginya, perdamaian mengakui keberadaan penjajah di tanah airnya. Damai berarti mengaku kalah. Akibatnya, Van Swienten terus mendesak ke istana dan memaksa Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) menyerah dan tunduk kepada Belanda.. Pada 24 Januari 1874, pukul 12 siang, Van Swieten masuk ke istana dengan harapan Sultan Alaidin Mahmudsyah ada di sana dan memaksa penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Tetapi Sultan Alaidin Mahmudsyah pada pagi telah mengungsi ke Lueng Bata dengan membiarkan istana kosong.
Prinsip orang nomor satu Aceh ini tidak mau melakukan perdamaian. Baginya, perdamaian mengakui keberadaan penjajah di tanah airnya. Damai berarti mengaku kalah. Akibatnya, Van Swienten terus mendesak ke istana dan memaksa Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) menyerah dan tunduk kepada Belanda.. Pada 24 Januari 1874, pukul 12 siang, Van Swieten masuk ke istana dengan harapan Sultan Alaidin Mahmudsyah ada di sana dan memaksa penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Tetapi Sultan Alaidin Mahmudsyah pada pagi telah mengungsi ke Lueng Bata dengan membiarkan istana kosong.
Artinya, secara simbolik, Sultan tetap menganggap mati
adalah kalah. Jika istana diduduki, itu artinya belum dapat ditaklukkan. Ini
mirip Perang Iraq vs Amerika ketika Saddam Hussein ditangkap usai perang. Dalam
suasana genting tersebut, Sultan meninggal empat hari kemudian pada Jumat 28
Januari 1874. Sahibul hikayat, dia wafat karena wabah kolera dan dimakamkan di
Pagar Air Aceh Besar. Makam Sultan ini delapan digali kembali dan dipindahkan
ke Cot Bada di sekitar Samahani.
Letnan Jenderal Van Swieten marah besar gagal menangkap Sultan Alaidin dan gagal juga rencana memaksa Sultan menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Walaupun mereka menduduki istana, tetapi simbol tertinggi kerajaan yaitu raja tidak ditemukan. Akhirnya Van Swieten, sebagaimana tradisi perang di Eropa, merampas seluruh harta kekayaan Sultan termasuk istana yang ditinggalkannya dan mengumumkan kepada internasional bahwa “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda”. Demikian pula, seluruh kekayaan pribadi dan asset istana dirampas dan dijadikan milik pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Recht van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ).
Letnan Jenderal Van Swieten marah besar gagal menangkap Sultan Alaidin dan gagal juga rencana memaksa Sultan menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Walaupun mereka menduduki istana, tetapi simbol tertinggi kerajaan yaitu raja tidak ditemukan. Akhirnya Van Swieten, sebagaimana tradisi perang di Eropa, merampas seluruh harta kekayaan Sultan termasuk istana yang ditinggalkannya dan mengumumkan kepada internasional bahwa “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda”. Demikian pula, seluruh kekayaan pribadi dan asset istana dirampas dan dijadikan milik pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Recht van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ).
Cucu Sultan Muhammad Daud Syah, Tuanku Raja Yusuf Bin Tuanku Raja Ibrahim bertemu dengan Tunku Puan Azizah Permaisuri Putra Mahkota Pahang Darul Makmur Malasyia |
Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan selanjutnya
dikuasai oleh KNIL alias serdadu Belanda seperti wilayah Kuta Alam, Neusu,
Kraton dan lain-lain hingga di seluruh Aceh. Karena itu, tidak mengejutkan jika
Kraton Aceh sekarang tidak lagi menampakkan keasliannya karena sejak awal sudak
dikuasai oleh militer dari colonial Belanda hingga Indonesia mardeka. Dalam
peperangan ini, Van Swieten tetap mengakui kehebatan orang Aceh seperti yang
dia tulis dalam sepucuk surat kepada sahabatnya “Wij hebben te Atjeh te doen
met een volk niet alleen dapper en oorlogzuchtig is dat nimmer door een ander
volk overheerscht is geworden, maar ook van oudsher den roem van een
krijgshaftig volk heft verworpen”, (kita berhadapan di Aceh dengan orang-orang
yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang dan tidak pernah dijajah,
tetapi juga kita berhadapan dengan rakyat yang semenjak bahari sungguh tangkas
berperang) (Paul Van Vier:1981).
Setelah istana dikuasai Belanda dan Sultan Alaidin mangkat
bukan berarti Belanda telah berhasil menakluki Aceh. Perjuangan rakyat terus
berkobar di mana-mana maka pusat pemerintahan Aceh berpindah ke Lueng Bata, ke
Pagar Air, kemudian ke Keumala, Lamlo Pidie. Peperangan terus berlangsung di
seluruh Aceh. Ulama dan umara bergandeng tangan berperang mengusir Belanda.
Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem bergandeng tangan
bersama pemimpin Aceh lainnya melawan Belanda.
Pada tahun 1875 untuk mengisi kekosongan Sultan, Majelis
Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku
Panglima Polem mengangkat Tuanku Muhammad Daudsyah yang bocah kecil
menggantikan pamannya Sultan Alaidin Mahmud Syah menjadi sultan dan Tuanku
Hasyim bertindak sebagai walinya. Ketika peperangan lagi berkecamuk dengan
Belanda, pada 1878, beberapa ulubalang menyerah dan bekerja sama dengan
Belanda. Disinilah kemudian muncul musyawarah Tanoh Abee, Lamsie yang dihadiri
oleh Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, Teungku
Syiek di Tanoh Abee dan pejuang pejuang lainnya, untuk menyusun siasat baru dan
mencari pemimpin jihad baru melawan Belanda, diputuskan untuk meminta keseidaan
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Chik di Tiro merupakan ulama baru pulang dari Mekkah
bergabung dalam barisan pejuang. Maka mulai saat itu, Tengku Haji Saman
memegang pimpinan perjuangan menentang Belanda yang umumnya dapat dikatakan
sekiranya taklah bangun Haji Saman berangkat menyusun perlawanan dan peperangan
kembali dengan Belanda, maka perang Atjeh-Belanda jang terkenal puluhan tahun itu.
Telah habis riwajatnja sampai tahun 1880 (Ismail Yakob: 1943). Belanda sendiri
kemudian, menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat
Syiek Di Tiro syahid di gunung Alimun.
Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng
bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6) disandera oleh
Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan
Alaidin Muhammad Daud Syah (1875-1939) menyerah diri kepada Belanda. Akhirnya
Sultan setelah bermusyawarah dengan penasihatnya datang dan bertemu dengan
Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Tuanku Muhammad Daud Syah dibawa ke
Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz dan menandatangani MoU
damai dengan Belanda. Saat itu, Sultan menjadi tahanan kota dimana dia hanya
diperbolehkan bergerak bebas di Aceh Besar. Bahkan dibuatkan rumah tinggal,
lengkap dengan perabotan dan menerima gaji bulanan sebesar 1.200 florin. Adapun
anaknya mendapat biaya belajar dari Pemerintah Belanda. Semua fasilitas dan
gaji yang diberikan dimaksudkan agar Sultan Muhammad Daud Syah membantu
kepentingan Belanda di Aceh. Namun usaha tersebut ternyata hanya sia-sia.
Dari hasil penyelidikan intelijen Belanda, Sultan Muhammad
Daud Syah memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh.
Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika
tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907 ditemukan
sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu,
terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Radja pada 6 Maret 1907
malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T.
Ibrahim Alfian, 1999 : 141).
Pengaruhnya yang masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Militer Aceh Letnan Jenderal Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog). Di Batavia Sultan Muhammad Daud terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap kehadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini” (Talsya: 1982).
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu Sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon.. Beberapa tahun kemudian dipindahkan kembali ke Rawamangun Jakarta sampai beliau menghembuskan nafas terakhir di Rawamangun Jatinegara pada 6 Februari 1939. Membaca ulang sejarah Sultan terakhir di Aceh memang menyedihkan. Sebab di dalam saat genting, mereka rela meninggalkan istana untuk berjuang. Adapun saat ini, suasananya memang sudah berubah. Istana mencari incaran kita semua. Kisah keluarga Sultan dan bagaimana hubungan baik mereka dengan para ulama tentu dapat menjadi iktibar bagi pemimpin saat ini.
Pengaruhnya yang masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Militer Aceh Letnan Jenderal Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog). Di Batavia Sultan Muhammad Daud terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap kehadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini” (Talsya: 1982).
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu Sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon.. Beberapa tahun kemudian dipindahkan kembali ke Rawamangun Jakarta sampai beliau menghembuskan nafas terakhir di Rawamangun Jatinegara pada 6 Februari 1939. Membaca ulang sejarah Sultan terakhir di Aceh memang menyedihkan. Sebab di dalam saat genting, mereka rela meninggalkan istana untuk berjuang. Adapun saat ini, suasananya memang sudah berubah. Istana mencari incaran kita semua. Kisah keluarga Sultan dan bagaimana hubungan baik mereka dengan para ulama tentu dapat menjadi iktibar bagi pemimpin saat ini.
Kepahitan perjuangan mereka telah kita nikmati hasilnya hari
ini. Dalam hal ini, kisah perjuangan mereka tercatat dengan tinta emas dalam
lembaran sejarah perjuangan bangsa, walaupun ini sudah mulai hilang dalam
ingatan generasi muda. Karena itu, kisah perjuangan Sultan Muhammad Daud Syah
ini diangkat agar dapat dihayati oleh generasi penerus. Penghayatan ini penting
untuk pembinaan generasi muda agar tetap konsisten dengan nilai-nilai luhur
para pendahulunya dan mengerti makna sebuah perjuangan yang tak pernah berakhir
* Catatan M Adli Abdullah, pemerhati sejarah dan budaya Aceh
0 Response to "SULTAN TAK BERISTANA"
Posting Komentar