Saya pernah bermimpi bahwa Aceh adalah satu suku yang tidak
pernah dipisahkan oleh alasan apapun. Mimpi ini saya dapatkan ketika
berkeliling Aceh dan beberapa negara, bahwa Aceh selalu dianggap sebagai satu
suku bangsa. Jadi, semua etnik yang ada di Aceh adalah suku bangsa Aceh. Saya
sendiri mungkin memiliki darah dari India atau Arab, tapi saya tak pernah
menganggap diri sebagai orang India atau Arab, saya tetap mengaku saya adalah
orang Aceh. Namun kadang impian saya itu hilang, jika ada satu etnik di Aceh
yang ingin memisahkan diri dari suku bangsa Aceh. Impian saya membangun Aceh
untuk sebuah identitas bersama, ternyata terganggu oleh munculnya sikap
sebagian orang yang ingin keluar dari Aceh. Impian saya ini sebenarnya sama
dengan impian orang Jepang ketika mereka membangun negeri dari kepungan bom
Hiroshima dan Nagasaki, walaupun mereka memiliki beberapa suku bangsa, tetapi
mereka tetap mengaku orang Jepang.
Ilustrasi |
Jadi, artikel ini dalam rangka meneruskan impian saya untuk
membangun Aceh sebagai sebuah kesatuan utuh dan tidak ada keinginan pihak
manapun untuk berpisah sebagai orang Aceh. Dalam sejarah disebutkan, suku Gayo
adalah penduduk negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peusangan karena tidak
mau masuk agama Islam (Russel Jones, 1999; Hill, A.H 1960). Cerita ini bermula
pada saat Syech Ismail dari Mekkah datang ke Samudra Pasai dan mengislamkan
Meurah Silu yang kemudian bergelar Malikussaleh. Setelah Meurah Silu
diislamkan,
Syech Ismail memintanya me¬ngumpulkan segala hulubalang dan rakyat
Samudra Pasai untuk memeluk agama Islam. Di samping Meurah Silu, saat itu juga
memeluk Islam Tun Seri Kaya yang bergelar Sayid Ali Ghiyatuddin dan Tun Baba
Kaya bergelar Syech Semayamuddin. Sedangkan sebagian penduduk yang tidak mau
masuk Islam mengungsi ke pedalaman hulu Peusangan nama lain dari Negeri Gayo.
Untuk menggambarkan suku bangsa yang ada di Aceh sewaktu
pemerintahan kerajaan Aceh dinukilkan dalam hadih maja Aceh sebagai berikut
“sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, sukee ja sandang jeurah haleuba, sukee tok
bate na bacut-bacut, sukee imuem peut yang gok-gok donya”. Belakangan saya tahu
kalau hadih maja ini dilantunkan oleh penyanyi Aceh, Rafly. Harus diakui, tak
banyak yang pa¬ham makna hadih maja tersebut. Sukee di sini berarti suku
sehingga hadih maja ini menggambarkan beragamnya suku yang ada di Kerajaan Aceh
Darussalam tempoe doeloe, yang berhasil disatukan oleh Sultan Alaidin
Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565).
Orang Gayo dikelompokkan dalam suku lhee reutoh yang diumpamakan
aneuk drang, yang berarti seperti pohon padi yang tumbuh kembali setelah musim
panen. Bahasa lainnya adalah sebuah penggambaran tentang suku tiga ratus ini
banyak sekali dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang ada dalam Kerajaan
Aceh. Dalam kelompok suku tiga ratus ini termasuk orang-orang Batak Karee yang
berdomisili di Lampanah dan Mantee di Lamteuba, Aceh Besar. Sedangkan
pen¬datang dari India yang masih beragama Hindu dan kawin dengan penduduk asli
Aceh mereka tidak digolongkan dalam suku tiga ratus, tapi dikelompokkan
dalam suku Ja Sandang. Arab, Cina, Jawa, Bugis, Turki. Bagi mereka
yang sudah memeluk Islam dikenal dalam suku tok batee dan imuem peut sebagai
kelompok terakhir. Mereka yang sering dilukiskan sebagai pahlawan dalan sejarah
perpolitikan kerajaan Aceh.
Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam sudah begitu kuat dan Aceh
menjadi lima besar negara Islam di dunia bersama Turki Usmani, Marokko, Iran,
Agra India. Sultan berhasil mengeratkan hubungan keempat suku ini dengan salah
satu cara melalui politek meubisan, seperti Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
kawin dengan Putri Gayo yang melahirkan Meurah Pupok, sultan pernah menikah
dengan Putri Sani dari Ribee, Pidie, melahirkan Ratu Safiatuddin
dan Iskandar Muda naik pelaminan dengan Putri Kamaliah (Putroe Phang),
adik Sultan Ahmadsyah Pahang (Malaysia), tetapi tak memiliki keturunan.
Perkawinan ini sebenarnya politik kerajaan untuk menyatukan
negeri-negeri yang sudah takluk ke Kerajaan Aceh Darussalam. Di samping politek
meubisan untuk menyamakan persepsi antara keempat suku itu, juga dilakukan
desentralisasi kekuasaan raja dengan membagi kekuasaan di Aceh berdasarkan
kehulubangan dan keudjroeen sehingga wilayah dataran tinggi Aceh dibagi ke
dalam Radjo Tji’ Bobasan, Keu¬djroeen Boekit, Keudjroeen Siah Oetama,
Keudjroeen Linggo. Keudjroeen Aboe’, Gajo Loeos, Keudjroeen Petiambang,
Keudjroeen Bambel dan Keudjroeen Poeloe Nas. Hal serupa juga dilakukan di
wilayah taklukan Aceh lainnya di Semenanjung Tanah Melayu seperti Perak,
Pahang dan Johor.
Kilas balik sejarah seperti ini penting diangkat kembali ke
permukaan, sebab satu hal yang cukup menarik untuk diingat, Aceh selalu menjadi
rebutan bangsa asing. Pertanyaannya adalah mengapa Aceh begitu penting buat
bangsa asing. Dalam hal ini, saya teringat Raffles pernah menasihatkan
Pemerintah Inggris pada abad ke 19 dengan kalimatnya “a country like Acheh by
military operation will be lost and nothing to gain”. Akibatnya, Inggris tetap
menganggap Aceh sebagai negara strategis di kawasan Selat Malaka dan meminta
Belanda menghormati kemerdekaan Aceh dalam perjanjian antara Belanda dan
Inggris di London pada tahun 1824. Perjanjian itu dikenal dengan nama London
Treaty.
Pascaperang Aceh Belanda 1873-1942
Menurut buku-buku bacaan yang saya dapat, sebenarnya Belanda
tidak begitu berminat menguasai Kerajaan Aceh, apalagi pada saat itu Aceh tidak
memiliki sumber daya alam yang menggiurkan seperti se¬karang. Cuma Belanda
menganggap Aceh menjadi benalu bagi eksistensi bisnisnya di Selat Melaka.
Akhirnya, Belanda berusaha melobi Inggris untuk merevisi London Treaty 1824
dengan tawaran Gold Coast (Pantai Gading) di Afrika akan diserahkan ke Inggris
bila bersedia merevisi traktat tersebut yang salah satu pasalnya mengakui
eksistensi Kerajaan Aceh dan melarang Belanda mengintervensi ke Aceh.
Tahun 1870, Inggris tertarik dengan tawaran Belanda dan
mengadakan pakatan baru dengan nama Traktat Sumatra (Sumatra Treaty). Traktat
inilah yang menyebabkan Belanda begitu bersemangat untuk menaklukkan Aceh.
Genderang perang pun ditabuh pada tanggal 26 Maret 1873. Tapi apa lacur, perang
ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah perang kolonialnya, dengan cost
yang harus dibayar mahal oleh Belanda. Salah satu wilayah yang sangat sulit
ditakluki Belanda adalah dataran tinggi Gayo dan Alas sehingga dalam Seminar
Perjuangan Aceh yang dilaksanakan di Medan, 22-25 Maret 1976, seorang
pemakalah, T Cut Amat, menulis pejuang-pejuang Aceh dari dataran tinggi Gayo
dan Alas sebenarnya sudah sejak puluhan tahun lalu telah bergelimang di medan
jihad bersama-sama dan bahu-membahu dengan patriot Aceh lainnya baik dari
pesisir barat dan timur.
Pada 1902, Prof Dr Snouck Hurgronje menulis laporan kepada
Pemerintah Belanda di Amsterdam, bahwa ada wilayah Aceh di kawasan bukit
barisan yakni Gayo dan Alas yang belum pernah tertakluk oleh pasukan Belanda.
Kawasan ini, menurut dia, menjadi basis pejuang Aceh dalam menyerang Belanda.
Laporan ini sangat menggusarkan Van Heuts, panglima perang Belanda di Aceh.
Maka, setelah membumihanguskan Batee Iliek (Kabupaten Bireuen sekarang), dia
memerintahkan pasukannya bersiap-siap menyerang Gayo dan Alas dan menunjuk
Overste GCE Van Daalen sebagai panglima operasi. Belanda telah mengerahkan
pa¬sukan di dataran tinggi Aceh untuk menyerang masyarakat Gayo dan Alas sejak
8 Februari 1902 sampai 23 Juli 1904 dalam perang ini Van Daalen hanya berucap
“menyerah ataupun semuanya mati.”
Tetapi masyarakat Gayo dan Alas tak gentar dengan ancaman
Belanda dan mereka terus berjuang mempertahankan bumi Iskandar Muda walaupun
beberapa ulee balang di pesisir telah menandatangani korte verklaring dan
menyerah kepada Belanda. Orang-orang Gayo dan Alas tetap setia mengikuti seruan
ulama-ulama besar Aceh yang sekaligus pemimpin perang Aceh melawan Belanda
seperti Tgk Syik Di Tiro, Tgk Syik di Awe Geutah, Tgk Syik Paya Bakong, Tgk
Syik Seupot Mata, dan lain-lain. Selain para ulama besar itu, Sultan Muhammad
Daudsyah yang akhirnya dibuang ke luar Aceh dan meninggal pada 4 Februari 1939
di Jatinegara, Jakarta pernah memimpin pergerakan di dataran tersebut.
Van Daalen dan tentara Marsose (pasukan elit Belanda)
melancarkan operasi di dataran tinggi Aceh selama dua tahun. Akibat
operasi sapu bersih itu, tak kurang dari 2.902 masyarakat Gayo dan Alas syahid.
Adapun sekitar 1.159 korban perang ini terdiri dari perempuan dan anak-anak.
Agaknya, peristiwa ini menjadi salah satu kejahatan perang yang pernah
dilakukan oleh Belanda di bumi Serambi Mekkah.
Baru pada tahun 1922 Belanda berhasil mengusai penuh dataran
tinggi Aceh tersebut dan membagi daerah Gayo dan Alas ke dalam delapan
keudjroeen (kerajaan negeri) dan empat ondeafdeeling melalui Statblaad 1922 No
451 yaitu Onderafdeeling Takengon yang terdiri dari Radjo Tji’ Bobasan,
Keudjroeen Boekit, Keudjroeen Siah Oetama, Keudjroeen Linggo. Onderafdeeling
Serbodjadi terdiri dari Keudjroeen Aboe’. Onderafdeeling Gajo Loeos terdiri
dari keudjroeen Petiambang dan Onderafdeeling Alas terdiri dari Keudjroeen
Bambel dan Keudjroeen Poeloe Nas. Jadi, sebenarnya
aset Aceh adalah wilayah Gayo dan Alas. Walaupun daerah ini terlambat dalam
pembangunan setelah Aceh menjadi sebuah provinsi dalam negara baru yang bernama
Indonesia namun kawasan ini tetap menjadi tempat kesayangan, sebab tanahnya
yang subur. Mereka tidak perlu sibuk memikirkan arus situasi modernisasi yang
sedang melanda Aceh saat ini.
Impian saya selanjutnya adalah wilayah Gayo dan Alas ini tetap
menjadi ikon orang Aceh asli yang tetap berwibawa. Dan kita berharap orang Gayo
dan Alaslah yang mampu menjadi ‘penjaga gawang’ terakhir identitas Aceh di muka
nasional dan internasional. Jika saja Snouck hidup kembali, tentu dia akan
menasihati agar Gayo dan Alas tetap bersatu, karena ka¬wasan inilah yang paling
disegani oleh para pasukan Belanda. Demikian pula, jika arwah syuhada itu hidup
kembali, tentu mereka bertanya kenapa kami ingin dipisahkan ketika merdeka,
padahal saat kami berperang, karena tetap ingin mempertahankan harga diri
sebagai orang Aceh. Jadi sebenarnya bagi saya, orang Gayo dan Alas mau pisah,
silahkan saja, tetapi amanah syuhada tetap harus diperhitungkan. Jangan
kemudian Aceh ini menjadi pecah karena kita ingin keluar dari identitas kita
sendiri.
Oleh: M Adli Abdullah
Sumber: Opini.
Serambi Indonesia
"Orang Gayo tinggal di gunung adalah karena Gayo masyarakat agraris yang lebih suka tinggal di tempat subur".
BalasHapusKebenaran teori ini juga didukung oleh fakta yang masih bisa kita saksikan sampai hari ini, yaitu adanya kebiasaan orang Gayo yang tetap berlangsung sampai hari ini yang senang menjual kebun yang sudah jadi dan sudah digarap bertahun-tahun kepada orang jawa lalu orang Gayo si mantan pemilik lahan itu sendiri memilih membuat kebun baru dengan membuka hutan untuk mendapatkan lahan yang lebih subur. Karena kebiasaan seperti inilah di Gayo muncul istilah ' Gayo tukang tebang, Jewe berempus wan belang, Acih mujegei simpang'. Artinya, Orang Gayo tukang tebang (membuka hutan), Orang Jawa berkebun di ladang (yang dulunya adalah Hutan yang dibuka oleh orang Gayo), orang suku Aceh menunggui Simpang (persimpangan jalan).
Dari ungkapan ini bisa kita lihat kalau orang Gayo memang lebih suka mencari tantangan baru daripada menggarap lahan yang tidak lagi subur, sementara orang Jawa sebaliknya lebih suka mencari aman dengan menggarap lahan yang sudah jadi, meskipun tidak terlalu subur dan orang Aceh daripada bertani lebih suka tinggal di persimpangan yang banyak dilewati orang, berdagang menyediakan kebutuhan orang-orang yang bertani itu, baik orang Gayo maupun Jawa.
tidak adanya satu hal atau event penting apapun yang membuat orang Gayo harus lari dari pesisir, tidak seperti orang Tengger yang lari karena tidak mau memeluk Islam, ketika Orang Aceh menjadi Islam, orang Gayo juga ikut memeluk Islam.
BalasHapusSangat setuju dengan Muhammad iqbal ..
BalasHapus